KISAH GIRSANG

Suatu malam, ketika penulis hendak menulis tetang marga Girsang di Lehu, penulis menemukan seperti yang penulis duga sebelumnya, sehingga membuat penulis tertawa terhabak-bahak sendiri setelah membacanya. Kisah itu penulis temukan di dalam buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:197-201) sebagai berikut:

Dikisahkan bahwa Siboro, anak dari Purba, memiliki keturunan dari Guru Tentangniaji sebanyak dua orang anak bernama Raja Langit dan Raja Ursa yang pergi jalan-jalan ke arah Dairi. Sesampainya di Tungtungbatu, kawinlah Raja Langitdan lahirlah anaknya bernama Tungtungbatu, yang menurunkan marga Purba di situ. Sedang Raja Ursa pergi ke Lehu dan kawin di sana hingga memperoleh anak bernama Raja Lehu, yang menurunkan marga Purba di situ.
Kemudian mereka berangkat ke Simalungun dan Raja Langit menetap di Langgiung Purba dan kawin di sana. Lahirlah anaknya dua orang di situ, yaitu: Raja Parultop (Datu Parulas) dan Tuan Purba. Sedang Raja Ursa pun pergi ke Nagasaribu, Simalungun dan kawin di sana. Kemudian lahirlah anaknya dua orang, yaitu: Raja Nagasaribu yang menurunkan marga Girsang, dan, Tuan Binangara yang juga marga Girsang keturunannya. Ke dalam marga Girsang ini masuk juga marga Girsang Rumaparik, Girsang Parhara, dan Girsang Silangit. ... dst. ... dst. ...  sampai halaman 201.



Setelah dikutip salah satu bagian dari buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di atas, maka dapat dicermati secara jeli dan kritis. Tentu diperlukan bahan pengetahuan lain seperti sejarah, sehingga dengan cepat dapat menggunakan angka tahun dari sumber lain, karena kisah di atas tidak punya angka tahun, sehingga si pembacanya dapat dengan mudah tersesat. Apalagi pengetahuan pembaca itu sudah diperlengkapi dengan pengetahuan mengenai ras dan genetika, maka dengan lebih cepat lagi dapat menilai kisah-kisah di dalam buku tersebut.

     Di Tungtungbatu adalah kampung marga Cibro dari Pakpak. SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN (Agustono & Tim, 2012), mengemukakan bahwa Raja Purba Pakpak dengan gelar Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu.  Tanpa sedikitpun keraguan bahwa Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu, sehingga marganya disebut marga Purba Pakpak dan peninggalannya pun masih ada di Tungtungbatu. Tuan Pangultopultop memerintah sebagai raja pertama dari Kerajaan Purba pada tahun 1624-1648. Raja Purba memerintah sebanyak 14 raja hingga raja terakhir Tuan Mogang yang memerintah pada tahun 1933-1947 dan meninggal pada masa revolusi sosial di Sumatera  Timur (Agustono & Tim, 2012:113-114).  Setelah Tuan Pangultopultop menjadi raja Kerajaan Purba di Simalungun, dia masih sering ke Tungtungbatu melewati Lehu, karena ada keluarganya di sana. Di Lehu, dia mengawini perempuan di sana yang melahirkan Girsang dan Girsang ini yang menurunkan marga Girsang.


     J. Tideman dalam bukunya Simaloengoen (1922;81-83) menulis bahwa seorang keturunan Girsang dari Lehu adalah pemburu rusa yang membawanya sampai ke Naga Mariah di mana rajanya adalah marga Sinaga. Melalui sebuah peristiwa perang yang dimenangkan oleh pasukan Naga Mariah atas strategi yang disarankan si Girsang, maka mereka pun menang dan si Girsang pun diberikan gelar Datu Parulas. Datu Parulas inipun menjadi menantu Raja Sinaga yang tidak memiliki putra mahkota, sehingga ketika Raja Sinaga itu meninggal, maka Datu Parulas menggantikannya menjadi Raja Girsang, yang kemudian menjadi Kerajaan Silimakuta dengan ibukota Nagasaribu. Raja Girsang ini menjadi raja sebanyak 7 generasi hingga Tuan Padiraja sebagai raja ke-7, yang meninggal pada waktu revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946 (Agustono & Tim, 2012:115-119). Datu Parulas naik tahta menjadi Raja Girsang di penghujung abad ke-18.

     Raja Langit dan Raja Ursa tidak dikenal di dalam sejarah Simalungun. Kemudian dikatakan bahwa Raja Langit memiliki anak, yaitu: Raja Parultop alias Datu Parulas dan Tuan Purba. Kedua tokoh terakhir ini adalah raja di Simalungun yang hidup dalam masa yang berbeda jauh, yaitu sekitar 150 tahun. Raja-raja di Simalungun jelas sejarahnya di mana mereka adalah raja dalam artian raja dari sebuah kerajaan di mana terakhir ada 7 kerajaan di Simalungun (1946). Sejarah tidak sama dengan turiturian (kisah). Sementara buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung hanyalah turiturian tanpa data tahun   yang jelas tanpa pembanding dari sumber-sumber lain. Apalagi bila diperhatikan ras dan genetika orang-orang dari daerah lain, maka akan semakin terlihat jelas betapa mustahilnya buku itu dan semakin terang-benderang terlihat jurus-jurus lain dalam usaha padomuhon langit dohot tano, yaitu jurus padomuhon langit dohot tano.

Penulis : Edward Simanungkalit
Sopopaniseon

Komentar

POPULER POST

SILSILAH GIRSANG

SILSILAH TOGA SIMAMORA BERBAGAI VERSI

PINAR SIMALUNGUN

Patuturan Dalam Ke Kerabatan Suku Simalungun

TAROMBO MARGA GIRSANG

GIRSANG Vs LUMBAN TORUAN HARIARA

SEJARAH LAHIRNYA MARGA TARIGAN

Umpasa Namarpariban

PESTA TUGU GIRSANG 2017

Radja Radja Simalungun