Purba Karo Dan Purba Pakpak


Sejarah marga Karo Karo purba  menurut penuturan para tetua marga Purba Pakpak)

Karo Karo purba adalah Salah Satu klan marga Karo Karo yang dimana leluhurnya berasal dari Pamatang purba

Leluhur Karo Karo purba adalah seorang anak bungsu yang dari raja purba yang dibuang karena dianggap mendatang kan sakit bagi sang raja


              Kapten Mumah Purba



                Kapiten Mumah Purba


Karena dianggap mendatang kan sakit,,akhir nya raja purba membuang anak tersebut ke dekat gunung Sibayak dan dibikin pagar pelindung yaitu pagar bambu dan dibuat lah sebuah Surat yang berisi aku adalah anak dari raja Pamatang Purba m

Ketika diasingkan,anak tersebut diselamatkan Oleh seekor ular raksasa yang mengasuh nya (Makanya marga purba karo memantangkan memakan daging Ular).

Pada suatu hari, Leluhur marga kaban menemukan anak tersebut dan mengangkat nya menjadi anak nya, Kemudian setelah membaca surat yang ditulis Oppung raja purba, Akhirnya beliau memberikan anak tersebut nama Karo Karo Purba dan diberi tanah yaitu wilayah kabanjahe Sekarang.

Salah satu hal yang menguatkan pernyataan ini,yaitu ketika pesta Bolon marsombuh Sihol purba Pakpak Pakon Boru panogolan Tahun 90 An,, Keturunan Dari Sibayak pa mbelgah Purba Karo dari rumah kabanjahe Datang dan mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari anak raja purba yang telah lama menghilang.


KISAH PURBA MERGANA

(Legenda Marga Purba Karo-Karo)


Menurut alkisah, konon khabamya pada masa dahulu, pada waktu anak bungsu Raja Purba di Simalungun lahir ke dunia, sang Ayahanda, Raja Purba, terus-terusan sakit, seolah-olah setelah kelahiran putranya yang bungsu itu, masa kebahagiaan dilanda kesuraman. Oleh karena itu, dipanggillah dukun sakti untuk merarnalkan dan mencari obat kabut kesedihan itu. Maka, dipanggillah dukun sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan. Maka, ditenung dan diramalkanlah masa depan keluarga si Raja Purba. Dukun Sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan mengatakan bahwa kelahiran putra bungsu Raja Purba ini membawa sial dan malapetaka buat keluarga Raja Purba. Oleh sebab itu, putra bungsu harus disingkirkan atau dibuang jauh dari keluarga Raja Purba. Bahkan, kalau boleh jangan diakui lagi sebagai anak keturunan Raja Purba. Maka, oleh Raja Purba hal itu diserahkan kepada dukun Sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan bagaimana baiknya. Akhirnya, diambil-lah keputusan, yaitu putra bungsu dibawa untuk dibuang dan diasing-kan jauh dari keluarga Raja Purba dan Dukun Sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan yang menanganinya. 

Pada waktu ia disingkirkan itu, putra bungsu baru berumur 13 tahun, dia dibawa jauh dari daerah Simalungun dengan melewati Gunung Barus ke arah matahari terbenam, seperti terbenamnya hati putra bungsu ke dalam duka sedih yang sangat menyayat hati, melebihi rasa sakit yang diderita saat dicucuk onak dan duri sewaktu berjalan melalui rimba raya yang lebat itu. Setelah beberapa hari dalam perjalanan, tibalah mereka pada suatu tempat yang datar yang dirasa sebagai tempat pembuangan dan pengasingan putra bungsu. Dibuatlah gubuk untuk tempat si putra bungsu. Setelah gubuk itu selesai, pulanglah dukun sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan. Maka, menangislah putra bungsu meratap kepada dukun sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan agar ia jangan ditinggalkan, dipeluknya kaki dukun itu, dan disembahnya berkali-kali yang disertai deraian air mata. "Oh nenek ... , jangan tinggalkan aku ... , jangan ... , kasihani-lah aku ... , oh ... , sampai hatikah nenek meninggalkan aku sendirian di sini . . . . , di tengah hu tan tua rim ba ray a ini, penuh binatang buas. Oh ... , daerah yang tak bertuan ... , siapa kawan yang akan menjagaku di sini Nenek ... ? Apakah sebenarnya salah dan dosaku maka aku dibuang dan dijauhkan dari sanak saudaraku? . . . oh ... , N enek ... ? 

Setelah mendengar ratapan itu, dukun sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan itu pun tak dapat membendung air matanya, dia jadi kasihan kepada anak malang itu, lalu diusap-usapnya rambut dan kepalanya sang putra bungsu itu seraya perlahan-lahan memberi penjelasan. "Yah ... , sungguh kasihan kau Nak ... , nasibmu sungguh malang, tetapi apa boleh buat, nasib dan takdirmu sudah disuratkan demikian . . . , kau harus dibuang dari sanak saudara dan keluarga-mu . . . . Sejak saat ini kau tidak boleh lagi mengakui mereka itu sanak saudaramu atau keluargamu ... , kau harus hidup menyendiri ... , pandai-pandailah hidup ... , kau harus tinggal di sini sendirian, kau tak usah takut ... , kami telah menyediakan perbekalanmu untuk tujuh tahun. Setelah itu, kau harus cari sendiri. Ini pedang, pisau, dan panah untuk menjaga dirimu, dan kau tidak usah takut akan binatang buas, di sekeliling tempat ini akan kami tanam bambu dari sebagai pagar."


Setelah dukun sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan itu selesai berbicara, lalu dia menancapkan tongkatnya ke tanah sehingga muncul mata air tujuh buah di situ, kemudian, mengurung tempat itu dengan tanaman rumpun ban1bu kuning berduri dan lebat dan rapat, yang maksud dan gunanya agar sang putra bungsu tak dapat lari atau kembali ke Simalungun dan terhindar dari serangan binatang buas. (Tempat itu sekarang masih ada yang dinamakan Buluh Duri dan dihiasi tujuh mata air benih di Lau Gendek Berastagi, tempat tersebut masih dianggap keramat oleh masyarakat).

Setelah semua tugasnya selesai, maka dukun sakti Guru Pakpak Tujuh Sejalan itu pun berangkat dan meninggalkan merga Purba putra buangan sendirian terkurung oleh pagar barn bu berduri. Ia pergi berkenalan ke tanah Karo. Bertahun-tahun merga Perba putra buangan itu hidup menyendiri di batik pagar bambu berduri. Pada waktu senggangnya, dia belajar memanah dan memakai senjata-senjata lain sebagai bekal untuk berburu kelak apabila perbekalan yang hanya tujuh tahun itu habis. "Kelak ... sampai kapan pun aku tak akan pulang kembali kepada mere.ka, sanak saudara dan keluargaku itu, begitu sampai hati mereka membuang aku merana begini,'' pikimya.

 berganti bulan, tahun berganti tahun . . . , akhirnya sampailah sudah tujuh talmn dia menyendiri di situ dan perbekalan yang tersedia pun sudah habis. Oleh sebab itu, dia harus mencari makanan lain ... , dia harus berburu. Oleh sebab itu, dia harus dapat ke luar dari pagar rumpun bambu berduri tersebut agar dapat berburu ke hutan. Secara terpaksa mulailah ia merintis pohon-pohon bambu berduri itu agar dapat ke luar mencari binatang buruan. Kini, dia telah cukup dewasa, gagah, dan kekar. Ia tak perlu takut akan binatang buas. Setelah mendapat binatang buruan, dia pun kembali ke gubuk-nya. 


Demikianlah hal tersebut berlangsung sampai beberapa tahun sehingga pada suatu hari, sewaktu dia hendak berburu seekor burung yang cantik berbulu warna-wami, dia telah sampai ke Gunung Singkut tanpa diduga-duganya karena burung yang jadi incerannya itu membuatnya penasaran sebab sang burung selalu mengelakkan 

panah si pemburu dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lain ke arah Gunung Singkut. Dalam pemburuan burung itu, tanpa disadarinya, tiba-tiba mata-nya melihat sesosok tubuh wanita cantik yang sedang duduk mengeringkan tubuh dan rambutnya dekat sebuah mata air yang jernih dan bening. "Apa maksud Tuan kemari?" kata wanita cantik itu seraya tersenyum manis kepadanya. Merga Purba hanya melongo tak dapat menjawab karena terlampau kaget menemukan wanita di tengah hutan lebat itu dan tiba-tiba telah pula dihujani pertanya-an-pertanyaan oleh wanita secantik bidadari dari kayangan itu. "Mengapa diam saja Tuan?" sambung wanita itu lagi. Karena merasa pertanyaannya tidak dijawab oleh Merga Purba, sang pem-buru tampan dan gagah itu. "Oh ... , oh ... , tidak," kata Merga Purba tergagap-gagap. "Aku terkejut melihat ada wanita sendirian di tengah hutan lebat begini, sambungnya lagi seraya menghampiri wanita cantik itu, manusia pertama yang ditemuinya sejak tujuh tahun lebih di pembuangan di tanah Karo.

 Kemudian, mereka pun bercakap-cakap dengan intimnya yang Merga Purba kemudian menceritakan bagaimana dia bisa sampai ke Gunung itu dan juga menceritakan tentang dirinya sebagai anak buangan dari Raja Purba di Simalungun. Sang Putri mendengarkan dengan penuh perhatian dan juga merasa tergugah hatinya mendengar kisah sedih merga Purba itu. Karena terlalu asyik bercerita, mereka pun tak sadar bahwa hari telah siang, matahari telah lewat tengah hari, perut pun sudah terasa lapar dan minta diisi. "Ayolah mampir dulu ke rumah kami untuk makan, ' sang putri mengajak merga Purba, sang pemburu gagah dan tampan itu.

Dia juga tak keberatan walaupun untuk selama-lamanya berada bersama putri cantik bak bidadari dari kayangan itu. Baru beberapa langkah melangkah tibalah mereka di sebuah gua yang cukup bersih, gua itu tak jauh dari tempat pertemuan mereka tadi. Masuklah mereka ke dalam dan merga Purba tiba-tiba terkejut, hampir melompat ke luar kalau tidak dipegangi si bidadari karena daiam gua yang samar-samar itu terdapat seekor ular besar tetapi pendek, sedang melingkar seakan-akan menanti kedatangan mereka. Didekatnya, di atas batu, bertengger burung yang tadinya diuber-uber oleh merga Purba. Burung itu di tanah Karo dinamai kak atau dalam bahasa Indonesia kakak tua. "Silakan masuk, duduklah" kata ular dan burung itu secara serentak, yang membuat merga Purba benar-henar jadi tambah heran dan tak mengerti, sedangkan si bidadari hanya senyum-senyum saja sambil menghamparkan tikar untuk tempat mereka duduk. Setelah mereka duduk, maka mereka pun makanlah berupa buah-buahan, seperti jambu, pisang, dan buah~buahan jenis lainnya. 

Sambil makan, sang bidadari pun bercerita bahwa ular itu adalah ibunya dan burung itu adalah ayahnya yang sengaja memancing merga Purba datang ke Gunung Singkut guna merencanakan per-jodohan antara merga Purba dan sang bidadari yang cantik jelita. Setelah tercapai kata sepakat, maka merga Purba dijodohkan dengan sang bidadari sebagai suami istri yang kelak menjadi sejarah nenek moyang merga Purba di tanah Karo. Orang tua sang bidadari menyarankan agar mereka hidup bersama manusia lainnya dan menempuh .cara-cara hidup manusia, yaitu tidak terpencil dan tidak mengasingkan diri di Gunung Singkut atau di Beluh Duri tempat merga Purba. 

Sesudah merasa cukup memberikan petuah-petuah dan wejangan, merga Purba dan sang bidadari yang sudah menjadi suami istri disuruh berangkat ke perkampungan manusia terdekat. Dengan sayup-sayup mata memandang, tampaklah membubung asap dari Gunung Singkut, yakni dari sebelah barat daya kampung yang bernama Kahan, yang dihuni oleh Merga Kertaren dan Kaban. Keesokan harinya berangkatlah merga Purba bersama istrinya ke kampung Kaban dan setelah sampai di sana, mereka pun menemui penghulu kampung minta izin untuk mendirikan rumah di situ. Apa kata kepala kampung tersebut? "Kalau Anda mau menjadi warga kampung ini, kami terima dengan baik dan hangunlah barung atau rumah Anda arah enjahe (maksudnya arah ke hilir dari kampung Kaban tersehut). Sejak saat itu, berdirilah guhuk mereka di kampung Kahan arah jahe (yang kemudian sekarang dinamai kampung Kahanjahe) dekat sebuah pohon besar yang punya mata air tersendiri. 

Konon, menurut yang empunya cerita, apabila ibu mertua merga Purba datang, dia berada di lubang pohon kayu besar tersebut dan merga Purba beserta istrinya sering pula membalas kunjungan mertuanya ke Gunung Singkut. Selama menetap di Kabanjahe itu, mereka dianugerahi enam orang anak laki-laki dan seorang anak wanita sehingga merga Purba di tanah Karo diberi nama julukan Purba si enam dan kepada keturunannya itu diperingatkan "pantang membunuh ular" sehingga sampai sekarang merga Purba di Tanah Karo pantang memukul atau membunuh ular. Juga diperingatkan agar jangan mengaku berasal dari merga Purba Simalungun dan jangan memberi malu kepada Raja Purba Simalungun sebab mereka sudah dibuang dari dinasti merga Purba Simalungun tersebut. Juga wanita-wanita beru Pura cantik-cantik karena mereka turunan bidadari. Lama-kelamaan barung itu kemudian menjadi perkampungan keturunan merga Purba dan diberi nama kampung Kabanjahe. 

Rupanya, keturunan merga Purba ini cepat berkembang baik dan menjalar ke sekitarnya, seperti ke Katepul, Samura, Keraren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu, dan Ujung Aji serta sekarang entah ke mana lagi. Demikianlah asal-usul mengenai merga Purba di Tanah Karo dengan perkampungan pertama adalah Kabanjahe, yang masuk merga termuda di daerah Karo umumnya dan di daerah sepuluh dua kuta khususnya. 


Sumber bacaan :  

1.Sastra Lisan Karo,  Depdikbud 1993.

2. Foto "Pa Mbelgah Purba Karo-Karo, Hoofd van Kabandjahe "koleksi KITL 1918

Komentar

  1. 1. Cerita ini terkesan dramatisir. Tidak benar marga purba anak raja purba di usir. 2. Dipaksakan kali kalimat putus hubungan dan persaudaraan dengan silsilah purba simalungun, tidak benar itu ceritanya. Dan tetap purba simalungun sampai akhir zaman. 3. Wilayah kerajaan kuasa Simalungun sampai Kekaban jahe. 4. Dia bukan sakit seperti yg diceritakan,tapi dia mengasah kesaktian bertapanya dan dilengkapi alat pedang Gombak mangkok putih, pisau tumbuk lada, tulip/panah untuk jadi raja ditanah dia bertapa. Gadis yg ditemukan itu adalah paribannya Boru Saragih anak dari turunan raja bandar awan / buluh duri sipispis yg memang telah dipersiapkan sesuai jadwal tahun 7 tahun. Berdasarkan filosopi jeruk purut 7 setangkai dan tujuh lapis langit. Istilah kabupaten dulu tidak ada. Kerajaan Simalungun juga mencakup sekarang wilayah di sebut kab Deli Serdang Anak Tuan Raja Purba Dalam pertapaannya di kawal saudaranya Dari Raja Purba Girsang, Purba Tambak dan sebagian keluarga besarnya ada di laucih Padang bulan. Dan mereka semua Simalungun. Jadi tetap Simalungun dan tidak ada sakit apa lagi diasingkan dijauhkan dan diputuskan persaudaraan seakan tak ada hubungan itu tidak benar.

    BalasHapus

Posting Komentar

POPULER POST

SILSILAH GIRSANG

SILSILAH TOGA SIMAMORA BERBAGAI VERSI

PINAR SIMALUNGUN

Patuturan Dalam Ke Kerabatan Suku Simalungun

TAROMBO MARGA GIRSANG

GIRSANG Vs LUMBAN TORUAN HARIARA

SEJARAH LAHIRNYA MARGA TARIGAN

Umpasa Namarpariban

PESTA TUGU GIRSANG 2017

Radja Radja Simalungun