Nagasaribu Silimakuta Dalam Catatan Dr. B Hagen

 "Nagasaribu Silimakuta dalam Catatan Dr. B Hagen  Desember 1883"


Dr B Hagen adalah seorang Pengelana dan Antropolog dari Jerman. Dia melakukan kunjungan ke pesisir Danau Toba di bulan Desember 1883. Dia didampingi oleh beberapa porter (tukang angkut barang) orang Melayu dan Batak. Sebelum berangkat dia bertemu dengan Raja Nagasaribu  sebutan untuk Tuan Nagasaribu, karena pada masa itu Kerajaan Silimakuta belum dimekarkan dari Kerajaan Dolog Silou. Mereka telah kenal lama karena Raja Nagasaribu sering ke Deli ( nama wilayah Medan pada masa itu) untuk membeli garam dan opium yang kemudian dipasarkan lagi oleh Raja ini di Tiga Raja.  Tiga Raja adalah nama tempat pasar didaerah Batak Timur yang didatangi oleh para pembeli dari pesisir Danau Toba dan Tanah Karo .


Berikut adalah keadaan Nagasaribu ketika Dr B Hagen tinggal beberapa lama disana :

 Pada sore hari tanggal 8 Desember kami tiba di Nagasaribu yang dikelilingi hutan lebat . Kampung ini berada diantara Gunung Singgalang dan Gunung Tanduk Banua ( nama Dolok Sipiso-piso masa itu). Rumah-Rumah nampak sudah kusam tua dan menyebar jumlahnya sekitar 30 rumah disini. Atapnya panjang dan berbentuk runcing ditumbuhi lumut dan pakis. Kesan terpencil terasa karena sekeliling kampung ini adalah hutan yang sebagian besar ditumbuhi oleh pokok aren . 


Kami tinggal di Bale-Bale karena rumah raja tidak muat untuk menampung kami. Bale-bale ini adalah sebuah bangunan di tengah kampung yang biasanya digunakan untuk pertemuan besar dan sidang oleh raja. Bangunan ini tidak mempunyai lantai ( masih berlantai tanah) karena digunakan sekali-sekali. Pada saat digunakan papan lantai dipasang lalu dibongkar kembali . 


Lalu saya pun meminta beberapa lembar papan kepada raja yang kemudian kami pasang sekitar 3-8 kaki diatas tanah sebagai lantai. Namun harus hati-hati karena ada celah lebar antara papan karena bisa saja terjatuh kebawah apalagi ketika tidur malam. Karena tidak ada dinding saya pun menggunakan tikar gantung  dan terpal agar membentuk sebuah kamar yang nyaman untuk ditempati. Lalu bagian yang tak tertutup saya tutupi dengan daun-daun tumbuhan. Nampaknya cukup nyaman buat saya tinggal selama tiga Minggu kedepan. 


Saya memutuskan untuk tinggal lebih lama disini karena hutan disini sangat baik untuk menjadi tempat penelitian berbagi flora dan fauna dibandingkan tempat lain yang ada di dataran tinggi ini. Sekalian melengkapi hasil koleksi flora dan fauna yang sudah saya kumpulkan pada perjalanan pertama saya  dulu .


Suhu udara pukul 3 pagi terasa sangat dingin disini sampai -sampai panci yang saya letakkan diluar diselimuti uap air. Hanya memakai satu selimut wol membuat badan saya menggigil ditambah lagi hanya tidur diatas lantai kayu dan dinding yang seadanya. 

Dingin yang tak tertahankan karena saya sudah terbiasa selama empat tahun berada di daerah pesisir pantai.  Untuk memanaskan badan saya pun berjalan bolak-balik disepanjang lantai papan itu. Ternyata bukan hanya saya yang kedinginan, orang Jawa dan Melayu yang mendampingi saya juga nampaknya menggigil kedinginan. Bahkan orang yang tinggal disini juga nampaknya kedinginan juga. Suara gemertak gigi yang kedinginan menjadi suara yang saya dengar subuh ini.


Mereka hanya memakai penutup badan seadanya dan menghangatkan badan dengan tidur disekitar perapian. Mereka bolak balik berganti menghadap ke arah api. Jika bagian depan terasa hangat makan dia akan membelakangi api dan begitu seterusnya.

 Dipagi hari saat matahari mulai terbit semua tertutupi kabut pagi. Saya terkejut melihat para wanita hanya memakai sarung dan membiarkan bagian dada atasnya terbuka. Mereka duduk didepan rumah untuk mewarnai benang dan ada yang bertenun untuk membuat selembar kain. 


Sayang sekali seorang porter ceroboh membuat termometer dan barometer saya terjatuh sehingga saya tidak bisa mengukur keadaan suhu udara disini. Hanya menurut penduduk disini suhu terdingin adalah sekitar jam 3 sampai jam 5 pagi atau sekitar subuh . Saat hari mulai terang nampak seluruh kampung tertutup kabut pekat . Hujan es bisa saja terjadi dibeberapa waktu tertentu terutama saat suasana sangat panas dan tiba-tiba hujan turun . 


Pada pukul 10 suasana mulai cerah dan hangat . Suhu udara paling tinggi ada dipukul 13 siang namun tidak sepanas udara di pantai. Saya jarang keringatan disini karena panasnya tidak berpengaruh oleh udara yang masih mengandung uap air walaupun ketika mendaki gunung sekali pun . Sekitar pukul 5 sore suhu udara kembali turun dan pukul 8 saya terpaksa membungkus badan saya dengan selimut karena terasa dingin sekali . Selama saya disini  hujan baru turun dua kali namun tak sederas ketika kami berada di kampung Panribuan . 


Nampaknya berbeda dengan di Deli yang di bulan Desember hujan deras dan menyebabkan banjir. Kemungkinan karena uap air dihembuskan angin ke Deli dan menghasilkan hujan disana ditambah lagi hutan di Deli sudah mulai berkurang karena maraknya penembangan hutan untuk dijadikan perkebunan tembakau. Dan keadaan udara masih lebih bersih disini sehingga saya masih dapat melihat jelas kearah kejauhan.


Pagi-pagi buta sekitar pukul 5 dan 6 pagi para wanita tua dan anak perempuan yang lebih muda bangun pagi mengambil kayu bakar dan air ke sungai. Dan ada juga yang mandi disuhu dingin seperti ini. Kemudian Ibu-ibu akan melihat tong tempat mewarnai benang dan mulai memintalnya menjadi benang, ada juga yang bertenun untuk membuat sebuah kain. Sehingga suara alat pintal dan tenun terdengar bersahutan . Ditempat lain ada juga suara menumbuk padi untuk menghasilkan beras. Nampaknya para wanita ini telah sibuk untuk memasak makanan untuk suami dan anggota keluarga mereka.


Terdengar juga suara babi , lengkingan kuda dan erangan kerbau, gonggongan anjing . Ditambah lagi suara Kokok ayam yang minta dilepaskan dari kandang untuk makan melengkapi suara bisingnya pagi hari. Perlahan kabut-kabut dingin yang memasuki velah-celah rumah pun perlahan keluar dibawa angin menuju hutan-hutan disekeliling kampung.


Lalu kedengaran suara langkah orang-orang yang baru bangun pagi berlari ke arah bale bale dan buang air kecil dibawah tempat saya tidur.  Baunya kadang membuat saya tak betah tinggal dikamar saya. Mereka nampaknya tak punya malu termasuk kepada tamu kulit putih seperti saya. Sangat jauh berbeda ketika dihadapan raja yang mereka hormati. Jangankan buang air keci , kentut saja dihadapan raja akan dihukum mati.  Namun jika itu terjadi didepan pasangan atau yang beda jenis kelamin biasanya akan bersembunyi karena malu. 


Beberapa orang tua dan pemuda duduk berjongkok di perapian saya menanyakan maksud dan tujuan saya datang kesini. Sedangkan yang lain ada juga melatih dan membersihkan kuda -kuda mereka. Ada lusinan kuda nampaknya dikampung ini. 


Beberapa orang yang dituakan duduk bersama raja, sang raja biasanya melakukan sidang dipagi hari didepan bale-bale. Dua buah tombak ditancapkan ke tanah sebagai pertanda ada persidangan disana. Dalam persidangan ini raja akan dibantu oleh sanina dan anak borunya. Jika raja berhalangan maka akan digantikan oleh sanina dan anak borunya dibantu oleh pengawas kampung yang disebut Gamot.


Jika terdakwa dalam perkara ini dikenakan denda maka dua pertiga dari denda menjadi hak raja dan sepertiga bagian lainnya dibagi masing-masing oleh sanina dan anak borunya. Jika yang didenda adalah perkara pencurian maka setengah denda akan diserahkan kepada korban pencurian dan setengah lagi menjadi hak raja dan pembantunya dengan aturan pembagian seperti yang pertama tadi. Denda ini merupakan salah pemasukan buat raja dan pembantunya disini. Perkara membunuh , berkhianat kepada raja dan melarikan istri raja akan dihukum mati tanpa ampunan. 


Sekitar pukul 10 pagi para laki-laki dan perempuan pergi keladang . Padi disini nampaknya kurang menghasilkan panen yang banyak. Sawah juga tidak terlalu luas karena kekurangan air dan bibit. Jagung adalah tanaman terbanyak kedua setelah padi. Hasilnya sangat bagus dan melimpah. Biasanya jagung ini ditumbuk sampai menjadi kecil dan dicampur dengan beras untuk dimasak. Ada juga dibakar dan direbus ketika masih berwarna kuning pucat atau masih muda.


Disini ladang dikerjakan dengan bajak, cangkul besi dan garpu. Selain itu ada juga alat yang diapit dua buah kayu dan digunakan untuk mendorong roda yang ditempeli kayu kayu kecil yang berfungsi untuk melobangi tanah tempat biji padi ditanam. Untuk memanen padi digunakan alat ketam yang berbentuk sabit yang banyak digunakan petani di Hindia Belanda ini. Setiap ladang dibatasi oleh parit dan sawah dibatasi oleh gundukan tanah memanjang sebagai batas kepemilikan tanah antar pemiliknya. Meskipun luas ladang disini belum mampu menghasilkan panen yang memuaskan. Karena kadang mereka hanya membakar lalang lalu langsung menanam tanpa memupuknya. Sehingga banyak orang dari Nagasaribu ini bermigrasi ke daerah Serdang dan Deli dimana kadang disana menghasilkan lima belas kali lipat panen dibandingkan disini. 


Sekitar pukul 4 dan 5 sore mereka mulai pulang dari ladang . Para wanita biasanya mengurung hewan peliharaan dan memberinya makan . Lalu ke sungai mandi dan mengambil air. Sedangkan para lelaki kehutan menyadap nira dan membuat gula serta kebutuhan lainnya.


Pukul 7 malam keadaan diluar kampung terasa sepi dan dingin. Para lelaki berkumpul mengobrol  dirumah -rumah merokok dan mengunyah sirih sambil mengelilingi perapian sedangkan para wanita mempersiapkan makan malam.  Setelah makan malam yakni pukul 8 ada tamu yang datang berkunjung ke tempat saya. Mereka datang berbincang bincang dan memuaskan keingintahuan mereka tentang perjalanan saya ke Nagasaribu ini. Mereka menghibur dan bersikap sopan selama berbincang sehingga membuat saya merasa nyaman di Nagasaribu ini.


Pembagian waktu di Nagasaribu adalah sebagai berikut :

-Sogot dari pukul 6-8 pagi

-Pangului anak-anak dari pukul 8-10 pagi

-Pangului Bolon dari pukul 10-11 pagi.

-Hos atau satongah Arian dipukul 12 siang 

-Guling sekitar pukul 2 siang

-Guling Dao sekitar pukul 4 sore

-Bot atau Harang Hambing pukul 6 sore

Sedangkan malam tidak ada pembagian waktunya. 


Salah satu lelucon yang banyak diceritakan disini adalah tentang Si Jonaha yang cerdik dan licik serta kawannya Si Silamanding yang dikenal lebih baik dan sering membuat si Jonaha kesal. Diceritakan jika Si Jonaha dan Si Salamanding sama -sama pergi ke pasar. Si Jonaha membawa barang yang dibungkus daun aren yang katanya berisi kapas padahal hanya berisi daun daun ilalang dan bunga-bunga yang tidak berharga sama sekali sedangkan si Salamanding juga membawa bungkusan aren yang katanya berisi gula merah. Sebelum sampai di pasar si Jonaha menyarankan mereka bertukar membawa barang . Si Salamanding pun memberikan barang bawaannya dibawa oleh si Jonaha. Si Jonaha pun berlari membawa bungkusan itu setelah memberikan bungkusannya yang berisi ilalang dan bunga tadi. Sesampainya di rumah ternyata isinya bukan gula tetapi pasir. Mereka berdua ternyata saling membodohi. 


Catatan para pengelana asing tentang orang Batak tidak beragama nampaknya harus diperbaiki karena di kampung ini saya menemukan dua buah balai yang digunakan untuk memuja roh penjaga kampung. Letaknya berada di dekat bale -bale tempat saya tinggal. 

Yang satu sudah tidak terawat dan satu lagi merupakan bangunan kuil berbentuk bangunan yang terbuka tempat seorang Guru melakukan ritual . Orang Batak menyamakan bangunan ini seperti bangunan mesjid sebagai tempat beribadah. 

Orang Batak disini juga suka memakai jimat pelindung yang diukir oleh seorang Guru dan diisi dengan bahan-bahan magis yang disembunyikan didalam lubang ukiran berbentuk manusia tersebut. Orang-orang disini sering menyimpannya didalam tas nya dan jarang menunjukkannya kepada umum. Didalam buku ini saya lampirkan gambar dari jimat tersebut. 


Diatas bale-bale ada pot yang berbentuk tembikar yang diisi oleh ramuan ajaib dan akan diganti oleh sang Guru setiap tahun. Saya ingin menurunkan pot itu namun dilarang oleh penduduk disini karena ada hal buruk yang akan ditimbulkan jika dipegang secara sembarangan. Saya pikir itu adalah pelindung untuk bale -bale karena ditiap rumah ada juga benda seperti itu sebagai tempat roh penjaga rumah tersebut. Di Nagasaribu ini saya tidak menjumpai adanya pangulubalang sebagai penjaga desa lazimnya desa-desa yang ada di tanah Batak.




Ditiang bale-bale diikatkan sebuah benda yang dibuat dari kepala burung enggang yang telah dikeringkan dan benang yang diikatkan pada sebuah penutup yang biasanya bisa dimasuki orang. Ini adalah alat-alat pertunjukan huda-huda dan toping -toping yang digunakan pada saat pesta kematian. Menurut penuturan mereka huda-huda ini dipakai ketika raja sebelum meninggal dan dikebumikan. Mereka juga menunjukkan sebuah topeng yang diberikan oleh Raja Bangun Saribu kepada raja Nagasaribu. Topeng ini dihiasi dengan rambut manusia dan ada bekas cipratan darah yang menurut mereka adalah darah ayam dan darah lembu yang dipotong saat upacara pemakaman berlangsung. Tetapi saya ragu jika itu adalah darah manusia yang dipaksa memakai topeng ini dan melakukan tarian kematian . Dan pada akhirnya leher mereka akan digorok dan dipersembahkan sebagai pendamping raja di alam kematian. 

Topeng ini dipakai di setiap acara pemakaman raja yang meninggal termasuk juga istrinya . Bagian telinga topeng ini dilubangi sebagai tempat menempatkan anting-anting yang digunakan saat acara pamakaman raja. 



Sayangnya topeng ini tidak dijual oleh mereka walaupun saya sudah menawarnya sampai 15 dolar. Lalu saya meminta izin untuk menggambarnya selama setengah jam dan masih berharap ada kesempatan untuk memilikinya. Setelah itu saya mengembalikannya dengan berat hati. Lalu seorang anak laki-laki memakainya untuk bermain main dan menakut nakuti para wanita yang ada disana.


Pemakaman rakyat jelata berada di perbukitan sekitar kampung. Disetiap makam tertancap bendera putih dibagikan kaki dan kepala sebagai pertanda. Raja dimakamkan terpisah dari rakyta jelata dan kemudian dibeberapa waktu kemudian digali kembali tulang belulangnya dan diletakkan disebuah bangunan berukir indah.Bangunan berukir untuk Raja ini dibangun di Tiga Raja sekitar seperempat jam perjalanan dari Nagasaribu. Disana ada lapangan luas yang digunakan sebagai pasar disana. 


Selama tinggal di Nagasaribu saya berkesempatan menyaksikan pembangunan rumah makan itu yang dilaksanakan begitu meriah dan menyembelih babi. 



Setelah beberapa hari di Nagasaribu, kami baru tahu jika lalu lintas orang dari Batak Utara dan Aceh sangat banyak. Yang paling mengejutkan saya adalah adanya sekelompok orang Aceh yang datang ke daerah Batak Utara untuk membantu Sisingamangaraja. Mereka sudah sampai di Lingga. Daerah yang bisa dicapai selama setengah hari perjalanan dari Nagasaribu. 


Saya sangat khawatir dengan berita ini, karena jika mereka menyerang desa ini berarti keselamatan nyawa kami tidak terjamin. Tetapi Raja Nagasaribu meyakinkan saya untuk tidak khawatir. Dia berjanji akan melindungi saya sebab saya adalah tamunya. Jika diperlukan Dia bisa mengumpulkan sebanyak 3000 prajurit dari daerah Batak Timur yang sebagian besar adalah Orang Karo. Saya pun merasa tenang atas keterangan dari Raja ini, namun untuk berjaga-jaga saya pun mulai mempersiapkan senapan "Henri Martini " saya.


Sore itu saya berlatih menembak papan dari jarak 200 meter dan hasilnya papan tersebut tembus. Orang Batak disini yang dikenal suka berperang merasa kagum dengan kemampuan saya ketika saya berhasil menembak sasaran yang jauhnya 400 meter. Mereka nampaknya merasa segan dan hormat kepada saya ketika itu. 


Pada akhirnya , kami tidak melihat satu pun orang Aceh yang katanya ada sekitar 50-60 orang yang akan datang ke wilayah Batak itu. Bisa saja mereka pulang karena mendengar berita jika Sisingamangaraja sudah kalah. Saya mendengar berita jika Sisingamangaraja begitu akrab dengan Orang Aceh. Kelompok orang Aceh ini konon sering datang ke Bakkara melalui Lingga daerah Tanah Karo menuju ke Tongging lalu menyebrang ke Pulau Tao ( nama Pulau Samosir tempo dulu) lalu seterusnya ke Bakkara. 


Beberapa pedagang dari Aceh dan Gayo pernah saya temui di Hinalang, mereka biasanya berdagang di daerah Tiga Runggu dan kampung besar lainnya . Barang hasil produksi  dari Aceh biasa saya temui disini terutama koin emas dari Aceh yang kadang digunakan juga disini.


Berita lain yang saya dengar , Sisingamangaraja pernah pergi ke Aceh meminta bantuan untuk merebut wilayah Batak Utara. Dari fakta-fakta diatas ,saya menyimpulkan di tulisan saya ini jika budaya India yang ada di Batak Utara masuk melalui wilayah Aceh. Hal ini bisa dibuktikan karena hubungan antara Batak Utara dan Selatan ( daerah Mandailing) tak selancar dengan hubungan Batak Utara dan Aceh. Daratan ini benar -benar terpisah jauh oleh Danau Toba. 


Tuan (Raja )Nagasaribu yang disebut juga Tuan Naposo adalah seorang Raja yang sangat berpengaruh di daerah ini. Dalam legenda turun-temurun beliau berasal dari Toba. Daerah Nagasaribu ini adalah wilayah pertemuan antara Toba dan Karo. Dimana seperti kita ketahui jika orang Toba kalaupun menikah dengan suku lain akan tetap menjaga adat dan cara berpakaiannya. Dimana pengaruh Toba sangat mendominasi di Daerah ini . 


Raja Nagasaribu ini selalu diundang hadir ke wilayah tanah Karo selama beberapa hari dalam seminggu untuk membantu menyelesaikan masalah disana. Tak terkecuali didaerah pesisir Danau Toba dia juga begitu dihormati dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Tongging. Dia dengan ramah menerima tiga unteiraja  dari Raja  Tongging pada masa itu. Tak lama setelah kepergiannya dari Tongging tahun 1881 , Ompu Djonka Raja memberontak sehingga Raja Tongging mengusir nya dari sana. Lalu Ompu Djonka Raja ini pun pergi dan mendirikan Kampung Garingging, dia juga mengajak Raja Nagasaribu bekerjasama untuk membalas dendam kepada Raja Tongging.

Namun Raja Nagasaribu tidak mengindahkan ajakan itu, dimana Raja ini meminjam kerbau dari Raja Tongging untuk menggarap ladangnya . Raja Bage,  Bangunsaribu , Nagori  dan Silalahi juga berteman akrab dengannya. 


Raja Nagasaribu berjanji untuk menemani saya ke Pasar yang ada di Bage dan menyuruh Raja dari Silalahi datang kesana. Agar Raja dari Silalahi ini meminjamkan saya perahunya agar bisa menyebrang ke Gunung Pusuk Buhit yang sudah saya rencanakan akan saya daki.


Pada hari yang telah kami rencanakan, kami berjalan melewati pasar daerah Nagasaribu yang disebut Tiga Raja yang jauhnya kira-kira seperempat jam perjalanan dari Nagasaribu. Kampung ini berada diatas lapangan yang luas dan menampilkan pemandangan yang sangat luas lalu kami melanjutkan perjalanan kami ke Bage.


-----------------

Sumber Bacaan   :

"Rapport  uber eine im Dezember 1883 unternommene wissenschaftliche Reise an den Toba-See (Central Sumatra) von Dr. B. HÄGEN".



"Gambar /Sketsa Pemandangan dari Daerah Nagasaribu ke arah Deli"


Sumber bacaan :

1.  Rapport uber eine im Dezember 1883 unternommene wissenschaftliche Reise an den Toba-See (Central Sumatra) von Dr. B Hagen

2. Sketsa Rumah Goritan Raja Nagasaribu di Tiga Raja tahun 1883.

3. Sketsa Topeng yang ada di Bale Bale Nagasaribu

4. Foto "Kampung Nagasaribu tahun 1889 koleksi Troppenmuseum .

5.Fb Jan Eduart Sipayung

Komentar

POPULER POST

SILSILAH GIRSANG

SILSILAH TOGA SIMAMORA BERBAGAI VERSI

PINAR SIMALUNGUN

Patuturan Dalam Ke Kerabatan Suku Simalungun

TAROMBO MARGA GIRSANG

GIRSANG Vs LUMBAN TORUAN HARIARA

SEJARAH LAHIRNYA MARGA TARIGAN

Umpasa Namarpariban

PESTA TUGU GIRSANG 2017

Radja Radja Simalungun