Pangambatan Dan Nagori

               PANGAMBATAN DAN NAGORI

                         3 -14 April 1887


Pagi-pagi sekali kami meninggalkan Kaban Djahe, kami berjalan menuju ke arah Barat desa ini. Kami naik ke perbukitan yang menyajikan pemandangan alam yang indah yang menyegarkan mata. Lalu kami bergerak sedikit ke arah selatan, didepan kami ada bekas medan perang karena dibeberapa titik kami menemukan banyak ranjau/jebakan jadi harus hati-hati dalam melangkahkan kaki. 


Perlahan kami mencapai desa Katepulyang kemudian kami lanjutkan melewati jalan yang agak sulit untuk dilewati menuju Seberaya dan tiba di Lau Biang  hampir pukul 9 pagi. Setelah melewati sebuah jembatan yang bagus kami berhenti sejenak , karena saya ingin mengambil gambar dari tumbuhan-tumbuhan kecil  di sepajang pinggir sungai ini. Untuk melengkapi gambar yang akan saya ambil  , saya menyuruh seorang Batak yang berperawakan tampan untuk berdiri di atas jembatan. Dia adalah seorang mantan kepala suku yang memakai gelang emas  besar dipergelangan tangannya. 


Tetapi ketika saya hendak mengambil gambarnya dia melompat ketakutan dan meminta tolong kepada pengikut saya. Ketika saya bertanya , " Kenapa kamu tidak mau difoto?". 

Dia menjawab dengan raut muka agak ketakutan, " Tuan , saya tidak tahu itu untuk apa!".


Pukul 9 kami kembali melanjutkan perjalanan mendaki perbukitan yang curam yang ditumbuhi rerumputan kecil yang unik. Dari sana kami berbelok ke arah  Barat Daya dan menuju Siosar.


Daerah Siosar yang sedang kami tuju ini berada dengan ketinggian yang tidak merata membuat kami  berjalan menurun mengelilingi perladangan penduduk. Sekitar jam 10 pagi kami melewati jalan yang dibayangi pepohonan yang ada dipinggir jalan menuju desa Suka. Dipinggir jalan ini kami menjumpai seorang tua yang sedang berjongkok di depan gubuk yang khusus dibuat sebagai tempat menjual air nira aren yg difermentasi . Disana kami berhenti selama 10 menit dan beberapa anggota rombongan minum untuk sekedar menghilangkan haus mereka .


Perjalanan kami lanjutkan menuju ke arah Selatan Gunung Tanduk Banua , setelah setengah jam kami melewati sebuah sungai yang mengalir ke arah utara . Lalu kami tiba didesa Ergaji pada pukul 12 siang. Kami menjumpai sebuah alun-alun dengan dua batang pohon besar ditengahnya. Nampaknya tempat ini adalah tempat persinggahan favorit bagi para musafir . Disini kami menjumpai pasukan bersenjata  Orang Batak yang hendak bertempur ke Kaban Djahe. Tak lama  mereka mendekati kami dan meminta hadiah yang tak begitu mahal yakni sekitak korek api.


Sekitar jam 12 siang kami melanjutkan perjalanan dibawah terik panas matahari. Kami melewati perbukitan kecil yang ditumbuhi pepohonan.


Cuaca yang sangat cerah hari itu membuat semua pemandangan terlihat begitu jelas. Sibayak, Sinabun, Barus terlihat menonjol diantara pegunungan yang berbaris memanjang. Begitu juga dengan dua bukit yakni Delleng Kutu dan Delleng Daling. Saya merasa jika mengambil foto dari sini pasti hasilnya tidak akan jelas karena pantulan cahaya yang terlalu cerah.


Setelah melewati Aek Rimau , kami melewati sebuah kampung kecil yang hanya dihuni 2 rumah tangga, setengah jam kemudian kami sampai di kampung Garingging dengan 9 rumah disini dan disini kami beristirahat sebentar. Penduduk disana merasa gelisah dan curiga dengan kedatangan kami. Semua karena ada desas -desus jika kami sudah bersekutu dengan Sibayak Kabanjahe untuk memerangi mereka.  Tak ada yang tahu dari mana kabar itu berasal ."Kabar-kabar yang dibawa angin , begitulah istilah orang Melayu. Posisi kampung ini begitu dekat dengan Gunung Tanduk Benua yakni sekitar 3 km.

Pemandangan didaerah ini tak jauh beda dengan daerah Siosar. Medan yang akan kami lalui agak mendaki karena berbukit-bukit. Namun kami tetap tenang dengan keadaan ini karena kami telah berada diketinggian 1400 meter dari permukaan laut sekitar 350 meter lebih tinggi saat kami menyebrangi Lau Biang. Rasa penasaran dan ingin tahu lebih banyak akan daerah ini membuatku berjalan kebih cepat.  Sekitar pukul 3 lewt 15 menit saya telah berada diatas tebing dengan pemandangan air Danau Toba yang berkilau kebiruan dari atas ketinggian lebih dari 1000 meter ini. Pemandangan ini membuat kami terpesona sejenak sambil membayangkan apakah ekspedisi ini akan berhasil atau tidak. Namun keindahan itu tak berlangsung lama karena embun sore perlahan turun. Setelah melakukan perjalanan sejauh 2 ¹/² km kami sampai di kampung Pangambatan. 


Kami tiba di Pangambatan sekitar jam 5 sore dan beristirahat di rumah kepala kampung. Sebuah ruangan gelap dan terasa agak sesak karena asap dan dihuni banyak orang. Kami duduk di ruangan sebelah kanan diatas pintu masuk. 


                        Dolog Tanduk Banuwa

Namun pada saat itu kepala kampung / raja ini sakit dan dijaga oleh kerabatnya. Hal ini membuat kami merasa sedikit segan dan mungkin membebani mereka. Sebagai gantinya kami disambut oleh saudara laki-lakinya yang masih mudah tapi tetap ramah dan perhatian. Lalu kami dipersilahkan tinggal disebuah ruangan yang dilapisi tikar dan disana kami  menyusun barang-barang yang kami bawa sejak perjalanan awal dari Kabanjahe. Segera kami dikelilingi oleh orang-orang yang ingin tahu tentang kami, mereka sejenak lupa akan keadaan raja yang sedang sakit itu.


Keadaan lingkungan dan penduduknya menyadarkan kami jika kami tidak lagi berada di wilayah Karo namun sudah berada diwilayah yang ditinggali orang-orang dari Toba. Perbedaan dengan orang karo tidak hanya terlihat dari pakaiannya namun juga dari segi karakter orang-orang yang tinggal disini. Setelah beberapa hari kemudian keadaan kepala kampung/raja sudah membaik dan kami bisa berdiskusi dengan dia tentang perjalanan kami dimana kami sangat membutuhkan bantuannya. 


Dia kelihatan bersikap baik kepada kami , mungkin karena adanya surat pengantar yang kami bawa dari Sibayak Kabanjahe dimana dalam surat itu dia dijanjikan akan diberikan sedikit opium. Namun dia merasa jika ongkos untuk menemani kami dakam perjalanan sebanyak 70 dollar terlalu sedikit. 


Setelah jamuan makan malam dia menawarkan akan memotong seekor kerbau sebagai tanda penyambutan kepada kami dan saya terpaksa menyetujui karena hal seperti ini setidaknya harus mendapatkan balasan sebanyak kurang lebih 60 dollar padahal keuangan saya sudah terasa mulai menipis. Disini selain dollar spanyol , koin emas china dari deli kadang juga dipakai sebagai alat pembayaran. 


Keesokan paginya seekor kerbau yang masih muda disembelih secara Islam karena adanya 8 orang kuli angkut  Mandailing yang ikut dalam rombongan saya. Kerbaunya dipotong dengan menundukkan kepalanya ketanah dan menggorok bagian lehernya. Biasanya disini kerbau dipotong dengan menikam perut tepat dibagian jantungnya. 


Kerbau yang sudah dipotong segera dikuliti dan bagian ususnya dibuang. Sedangkan makanan yang belum tercerna dilambungnya dikumpulkan dalam sebuah tabung bambu dan jadi makanan yang cukup mewah buat penduduk disini. Kami mendapat bagian paha dan sedikit bagian perut  dan sisanya dibagi secara adat . Kepala kampung mendapat bagian kepala dan sebagian besar perut dan hatinya. Kami mendapatkan daging yang lebih dari sekali memasak namun semua harus dihabiskan karena cuaca disini membuat daging cepat membusuk. Selama menyantap daging kerbau ini rasanya saya sedang memakan daging paling enak didunia.  Rasa daging kerbau ini mirip dengan rasa daging sapi namun terasa lebih keras dan kasar seratnya  sehingga kami kadang rindu makan daging ayam tropis yang berdaging lembut. Daging yang tersisa saya serahkan  kepada teman pribumi yang bernama si Tolok. Tak luoa saya meminta bagian tanduk kepala kepada kepala kampung sebagai kenang-kenangan , dia memberikan setelah mengukir beberapa simbol sebagai tanda penghargaan kepada saya.


Sampai tengah hari kami belum bisa melanjutkan perjalanan karena kedatangan tamu diantaranya 7 orang penghulu dan istrinya. Masing-masing membawa segenggam beras dan ayam berwarna hitam sebagai hadiah dan pastinya kami harus membalasnya dengan memberikan hadiah balasan. 




Saya mendapatkan banyak barang hadiah dari para istri penghulu ini, salah satunya adalah dari seorang istri penghulu "Putri Tua" yang berasal dari  kampung Nagori wilayah Timur ( Simalungun) yang memberikan saya dua buah kain Toba yang menjadi salah satu koleksi berharga saya

Baru pada pukul 12.30 kami bisa melanjutkan perjalanan dan ditemani beberapa orang kami mulai mendaki ke puncak Gunung Tanduk Benua. Dari puncak gunung ini kami berharap  bisa memandang keindahan Danau Toba yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari sini. Setelah berjalan berbelok-belok  sepanjang satu kilometer dan melintasi perladangan penduduk kami sampai dikaki gunung ini. Pendakian pun dimulai tanpa ada jalan yang bisa kami lalui, nampaknya orang Batak jarang mendaki ke gunung ini karena tidak ada hal yang berharga atau menarik di gunung ini. Jadi kami harus membuka jalan sendiri melintasi tebing yang curam. Lalang yang tumbuh rapat dan lebat membuat kaki sulit melangkah dan dibeberapa tempat ada batuan yang tajam yang tertutupi ilalang ini. Kadang kami tersandung karena banyaknya lubang yang merintangi sehingga 2 ¹/² jam kemudian kami baru bisa mencapai puncak gunung ini. 


Puncak gunung ini terdapat hutan kecil yang merupakan tempat tinggal dari berbagai hewan buruan dan konon menurut penduduk ada sebuah telaga di puncak gunung ini yang tidak pernah kami jumpai selama pendakian ini. Dari bentuk gunung dan jenis batuan yang terdapat disini jelas jika dahulu gunung ini adalah gunung vulkanik yang sudah tidak aktif lagi. 


Dari pengalaman yang sering kami alami, cuaca diatas pegunungan/dataran tinggi bisa saja membuat kami tak bisa berlama lama disini. Namun kami tetap berusaha mendapatkan lokasi yang benar-benar bagus untuk memandang seluruh bagian danau dengan jelas. Pemandangan dari atas gunung ini memang benar- benar indah dan tidak pernah kami jumpai sebelumnya. Dari sini kami bisa melihat bagian pulau yang dikelilingi oleh air danau yang berwarna biru cerah .


Perbukitan disekitar tepi danau mempunyai ketinggian rata-rata kurang lebih 600 meter . Dari puncak ini kami melihat sebuah teluk dengan daratan yang berbentuk palu  sepanjang 4 ¹/² km yang memanjang ke arah danau dan disana ada kampung bernama Si Palangit ( sekarang Sibolangit). 


Disekeliling Pulau Toba ,bagian danau ini terlihat sempit terutama di bagian kanan pulau Toba ini. Lebarnya sekitar 1 km dan tidak dapat dilayari perahu ketika airnya surut. Tetapi orang-orang bisa menyebrangi danau dan pergi ke Pulau Toba ini yang dipenuhi oleh persawahan penduduk. Disisi barat pulau ini terdapat gunung Pusuk buhit sebuah gunung api yang sudah tidak aktif lagi , aktivitasnya vulkaniknya dimasa lalu mungkin yang membuat sempitnya selat antara danau dan pulau Toba ini.


Pulau Toba ini membagi danau menjadi dua bagian besar yaitu Tao Silalahi atau Laut Tawar yang merupakan wilayah paling luar di bagian Utara danau dan dibagian Selatan yang tidak bisa kami lihat dari sini adalah Tao Muara .


Wilayah tepian danau yang berbatu-batu dan curam membuat penduduk jarang bertempat tinggal disini. Diantara kampung-kampung yang terdapat disini , Kampung Silalahi merupakan bagian terpenting dan yang juga menjadi nama dari bagian terluas dari danau ini

1.  Catatan Dr. B Hagen /Toba see

2. Jan Edward Sipayung

Komentar

POPULER POST

SILSILAH GIRSANG

SILSILAH TOGA SIMAMORA BERBAGAI VERSI

PINAR SIMALUNGUN

Patuturan Dalam Ke Kerabatan Suku Simalungun

TAROMBO MARGA GIRSANG

GIRSANG Vs LUMBAN TORUAN HARIARA

SEJARAH LAHIRNYA MARGA TARIGAN

Umpasa Namarpariban

PESTA TUGU GIRSANG 2017

Radja Radja Simalungun